Bombana, BeraniNEWS.com — “Daripada sakit hati, lebih baik sakit gigi.” Kalimat legendaris dari lirik lagu dangdut itu seketika terasa absurd saat rasa nyeri mulai menjalar dari gigi ke seluruh tubuh. Ternyata, sakit gigi tidak hanya menyerang gusi dan gigi, tapi juga membuat kepala berdenyut, leher tegang, dan telinga berdengung tanpa henti. Saya mengalami itu, dan lebih dari rasa sakitnya, yang membuat luka justru sistem layanan kesehatan yang belum sepenuhnya manusiawi.
Rabu pagi, 2 Juli 2025, menjadi titik awal penderitaan saya. Semalaman saya tak bisa tidur karena denyutan tajam di gusi atas belakang. Rasanya seperti ada palu yang terus menghantam setiap detik. Akibatnya, saya bangun kesiangan dan terburu-buru bersiap menuju Puskesmas Rumbia, Kabupaten Bombana. Tujuan saya jelas: memeriksakan gigi dan meminta surat rujukan ke RSUD Tanduale.
Namun harapan segera pupus. Saya tiba di puskesmas pada pukul 12.30 Wita, dan petugas piket dengan santai mengatakan bahwa pelayanan sudah tutup. Ia menyarankan saya kembali esok hari antara pukul 08.00 hingga 11.00. Padahal, menurut informasi dari Dinas Kesehatan Bombana, waktu pelayanan seharusnya berlangsung hingga pukul 13.00 Wita. Saya hanya bisa terdiam. Antara kesal dan berusaha memahami tugas petugas di lapangan, saya akhirnya pulang tanpa hasil.
Malam berikutnya, derita berlanjut. Setiap kali mengunyah makanan, denyutan gigi menyergap tanpa ampun. Dari pukul 00.00 hingga fajar, rasa sakit tak kunjung mereda. Saya bertekad tak akan melewatkan kesempatan esok harinya. Maka saya memutuskan untuk tak tidur dan langsung menuju puskesmas saat pagi menjelang.
Namun tubuh tak bisa diajak kompromi. Karena lelah, saya terlelap dan baru tersadar pukul 10.30. Seketika saya bersiap dan meluncur ke Puskesmas Rumbia. Saya tiba tepat pukul 11.00. Masih dalam rentang waktu pelayanan, saya pikir kali ini semuanya akan berjalan lancar.
Tapi lagi-lagi, realita menampar harapan. Petugas piket menyampaikan bahwa pelayanan gigi telah ditutup lebih awal karena jumlah pasien sudah terlalu banyak dan salah satu alat pemeriksaan gigi “panas”. Alasan yang terasa ganjil, apalagi jika dibandingkan dengan standar pelayanan publik. Saya sempat mencoba menghubungi Kepala Dinas Kesehatan Bombana, Darwin, SE, tapi dua kali panggilan saya tidak dijawab. ,, saya pulang dengan hati berat. Tanpa pemeriksaan, tanpa rujukan, dan tentu saja, dengan rasa sakit yang masih bercokol di mulut.
Dalam perjalanan pulang, saya tak bisa menahan pikiran: Seburuk inikah layanan kesehatan dasar di daerah? Bagaimana jika ini menimpa warga yang tidak punya akses ke informasi, atau orang tua renta yang tak mampu mondar-mandir ke puskesmas? Apakah mereka akan diperlakukan dengan alasan yang sama: “alat panas” atau “pasien sudah terlalu banyak”?
Ini bukan sekadar soal administrasi atau teknis semata. Ini soal empati dan tanggung jawab moral sebagai pelayan masyarakat. Ketika pelayanan kesehatan menjadi seperti lotre—kadang dapat, kadang tidak—maka masyarakat yang paling rentan akan selalu menjadi korban.
Di tengah gencarnya sosialisasi peningkatan layanan kesehatan yang terus digaungkan oleh Bupati Bombana yang baru empat bulan menjabat secara definitif, kondisi pelayanan dasar seperti di Puskesmas Rumbia justru menunjukkan kenyataan yang belum berubah. Harapan masyarakat akan reformasi pelayanan publik, khususnya di bidang kesehatan, seolah belum sepenuhnya terwujud di lapangan. Padahal, komitmen pemerintah daerah dalam membenahi sektor ini telah disampaikan secara terbuka di berbagai kesempatan. Ironisnya, masih ada potret pelayanan yang tersendat hanya karena manajemen waktu dan fasilitas yang belum terkelola dengan baik.
Berdasarkan pengalaman ini, beberapa hal penting patut menjadi perhatian:
1.Kepastian Jam Layanan: Puskesmas harus konsisten dalam menjalankan jadwal pelayanan. Jika tertera tutup pukul 13.00, maka layanan harus tersedia hingga waktu tersebut, kecuali dalam keadaan darurat atau force majeure.
2.Sistem Antrian dan Transparansi: Perlu adanya sistem antrian digital atau manual yang tertib, lengkap dengan papan informasi jumlah kuota pasien harian, agar warga tidak bolak-balik hanya untuk ditolak.
3.Perawatan Alat dan Backup: Jika memang ada alat yang “panas”, seharusnya ada prosedur standar, seperti alat cadangan atau merujuk pasien ke fasilitas lain, bukan langsung menutup pelayanan.
4.Pelatihan Etika Layanan: Petugas medis perlu dibekali kemampuan komunikasi publik dan etika pelayanan agar dapat memberi penjelasan yang sopan, empatik, dan solutif, bukan sekadar menolak pasien tanpa pertanggungjawaban.
5.Saluran Pengaduan Aktif: Dinas Kesehatan perlu membuka kanal aduan masyarakat yang responsif, agar warga bisa menyampaikan keluhan dan segera ditindaklanjuti.
Kesehatan adalah hak dasar. Dan ketika pelayanan kesehatan publik mulai kehilangan sentuhan manusianya, saat itulah kita perlu bicara, bukan hanya demi diri sendiri, tapi untuk seluruh warga Bombana dan mereka yang butuh uluran tangan di tengah sakit yang tak terlihat. (Red)