Penulis:
Drs.Mohamad Subur M.Si Alumni UNHALU Tahun 1989 Jurusan Sejarah
Secara etimologi pengertian Rapa Dara bagi masyarakat moronene pulau kabaena adalah kepala kuda. Kuda adalah salah satu dari sekian banyak binatang ternak yang cukup banyak dan membumi di pulau kabaena pada zamannya, disekitar tahun delapan puluhan kebawah, yang populasinya hampir sebesar sejumlah populasi kerbau. Binatang ini merupakan salah jenis ternak yang sangat digandrungi di senangi dan dibanggakan oleh masyarakat kabaena dikala itu. Sehingga bagi masyarakat kabaena yang yang memiliki banyak ternak kuda dapat di identikkan sebagai golongan masyarakat ekonomi menengah keatas atau bangsawan.
Bahkan kalangan masyarakat awam, kebanyakan masyarakat mororonene Kabaena mengkultuskan kuda sebagai binatang titisan dewa (sangia) pemberi rahmat bagi umat manusia penghuni bumi alam semesta.
Melihat sejarah perkembangan dan persebaran spesis jenis binatang kuda di dunia ini, konon berasal dari amerika utara kemudian menyebar ke Asia Tengah sebagai kuda modern. Dalam peradaban manusia kuda mulai di dilirik dan diternak untuk dimanfaatkan manusia untuk mewujudkan impian dan tujuan – tujuan yang di kehendakinya dalam mengarungi hidup dan kehidupannyau dikala itu, seperti kuda sebagai alat perang maupun sebagai alat trnsportasi dan lain lainnya. Sejarah membuktikan bahwa Jhenghis Khan menaklukan dunia berkat pasukan berkudanya bukan panser, Teuku Umar, lmam Bonjol, Sultan Hasanuddin dan lain – lainnya menggunakan kuda dalam melawan Penjajah imperialisme bukan menggunakan panser, karena kuda memiliki keunggulan – keunggulan, yakni memiliki tenaga yang kuat, tangguh, lincah, dan gagah berani serta mampu hidup disemua lini musim. Disamping itu daging dan susunya sangat baik untuk kebutuhan manusia, bahkan kuda saat ini disimbolkan oleh kekuatan mesin.
Bila kita merunut sejarah peradaban pola kehidupan masyarakat moronene pulau kabaena pada zaman dahulu, kuda adalah salah satu binatang jenis binatang ternak yang sangat di kagumi, disayangi, dan membanggakan yang amat membumi, Karena binatang ini di samping sebagai multi guna sebagai alat transportasi, juga daging dan susunya sangat bermanfaat buat imun tubuh manusia.
Maka tidaklah heran bagi masyarakat Moronene Kabaena, bagi setiap rumah tangga setiap keluarga yang memiliki kuda, sejak usia dini telah mulai diajari untuk, mampu,tahu, pandai dan berani menunggang kuda, baik ia laki – laki maupun perempuan, agar kelak dapat mampu mengganti peran peran orang tua dalam membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Bagi kaum (HAWA) perempuan – perempuan masyarakat Moronene Kabaena kelahiran dibawah tahun tujuh puluhan kebawah pasti tau, mampu, berani dan pernah menunggang kuda utamanya yang memiliki ternak kuda.
Hal tersebut menggambarkan dan menunjukan pada kita semua, bahwa kaum (ADAM) Iaki- laki dan kaum (HAWA) perempuan – perempuan Kabaena telah memiliki kesetaraan atau kesamaan dan status yang sama, yang zaman ini populer dan tenar dengan istilah jender, yang dalam pemerintahan saat ini dikenal Dinas Pemberdayaan perempuan.
Peristiwa menunggang kuda bagi perempuan – perempuan moronene kabaena ini, dapat kita lihat disetiap saat pada setiap kegiatan budaya masyarakat, seperti saat MONGAPi, MOMPETUKANAi, MOMPAKAWI dan MOIANGARAKO. ini dilakukan bagi kalangan yg berkemampuan ekonomi yang mumpuni, golongan golongan tertentu atau bangsawan.
Jadi perempuan – perempuan masyarakat moronene yang lahir pada dekade tahun – tahun tujuh puluhan kebawah pasti pandai menunggang kuda. Menunggang kuda tentu tidaklah segampang yang dibayangkan oleh semua orang apalagi apalagi di zaman sekarang, tentu harus orang orang terlatih, karena menunggang kuda membutuhkan nyali keberanian yang besar, keterampilan dan ketangkasan yang mumpuni. Tetapi pada masyarakat moronene pulau Kabaena pada zamannya ini adalah hal yang tentu dianggap biasa – biasa saja.
Untuk melihat puncak kemampuan perempuan – perempuan moronene kabaena dalam kepiawiannya menunggang kuda berbareng dengan laki – laki kita dapat jumpai saat bareng berpacu yang dikenal dengan istilah MOMPADERE. Mompadere dengan dua jenis yakni DERE ETE dan DERE EA, yang artinya adalah salah satu gaya jenis gaya berjalan kuda “MELEMBEM” empat ketukan kaki yang kira – kira sama dengan kecepatan berlari atau langkah agar lebih mulus dikendarai. oleh sebab itu kuda yang baru hedak dipakai terlebih dahulu di latih (PATURU 0) oleh orang orang tertentu yang pandai.
Hal ini dapat kita jumpai pada hari – hari tertentu yakni hari pasar (TADOHA ) seperti di pasar Sikeli, pasar Toli – Toli, Pasar Mustari, Pasar Watekule, Pasar Dongkala dan lain – lain, disana akan terlihat berpuluh puluh kuda berjejer rapi pada tempat khusus bak seperti mobil yang lagi parkir diterminal.
Tradisi menunggang kuda khusus perempuan – perempuan Moronene pulau Kabaena yang merata dan membumi inilah yang dapat menandai perbedaan pada suku – suku lain di Nusantara.
Bertolak dari pemikiran tersebut diatas bila merunut akan defenisi kebudayaan sebagai sistim kehidupan manusia yang mencakup sebagai hasil cipta, rasa, karsa termasuk pengetahuan, keyakinan, kesenian, adat istiadat, KEBIASAAN yang diwariskan secara belajar kegenerasi berikutnya, maka tidaklah kiamat atau berkelebihan untuk kita berkesimpulan bahwa masyarakat moronene Pulau Kabaena telah jauh melaksanakan Emansipasi wanita sebelum R.A.Kartini.
Emansipasi yang selalu digaungkan sejak lama adalah sebuah gerakan atau proses untuk mencapai kesetaraan hak dan kesempatan bagi bagi wanita dalam segala aspek kehidupan, seperti pendidikan, ekonomi, sosial dan hukum, sehingga mereka bebas dari penindasan, diskriminasi, dan segala bentuk pembatasan untuk berkembang dan maju.
Tujuannya adalah memberdayakan perempuan agar dapat hidup mandiri, memilih dan bersuara secara bebas tanpa dibatasi oleh norma atau tradisi yang merugikan.
Pelibatan perempuan – perempuan Moronene Pulau Kabaena pada tradisi untuk tau, pandai, kuat dan nyali yg kuat untuk menunggang kuda sejak dini sebagai tradisi pada zamannya adalah sebuah wujud nyata bentuk emansipasi wanita, yang di zaman kekinian lebih tren dan populer dengan istilah gender. Hal bisa terlihat dalam aspek sosial politik Misalnya Caleg DPR, gendernya harus 30% perempuan, dibentuknya lembaga pemerintahan Kementerian Pemberdayaan Perempuan, di daerah ada Dinas Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak.
Sebagai masyarakat Moronene Pulau Kabaena kami merasa berterima kasih atas niat ikhlas dan ketulusan hati terhadap Ibu Hj. Fatmawati Kasim Marewa S.Sos yang telah mengangkat melestarikan salah satu dari sekian banyak tradisi budaya lokal masyarakat Moronene pulau Kabaena yaitu mengangkat motif “RAPA DARA” sebagai suatu pelestarian budaya lokal khususnya masyarakat Moronene Kabaena.
Penulis:
Drs. Mohamad Subur, M.Si
Alumni UNHALU Tahun 1989 Jurusan Sejarah