Oleh: Abdul Rahman Farisi, SE., M.SE (Sekretaris Bidang Kebijakan Ekonomi DPP Partai Golkar)
BeraniNews – Pasca dilantik pada tanggal 20 Oktober 2024 lalu, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, melakukan kunjungan kenegaraan pertama ke luar negeri mulai tanggal 9 – 24 November 2024. Kunjungan ini dilakukan untuk memenuhi undangan dari negara-negara sahabat. Menurut Prabowo, undangan tersebut merupakan bentuk penghargaan negara-negara sahabat kepada Indonesia sebagai mitra penting dalam perekonomian global.
Pada kesempatan pertama, Presiden Prabowo melawat ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Sabtu (09/11/2024). Kedatangan Presiden Prabowo di Great Hall of the People, Beijing, disambut dengan penuh kehormatan oleh Presiden RRT, Xi Jinping, melalui upacara kenegaraan.
Kunjungan Presiden Prabowo ke Tiongkok bukan sekadar pertemuan diplomatik biasa. Ini adalah langkah strategis yang dapat menjadi pendorong utama bagi perekonomian Indonesia. Dengan posisi Tiongkok sebagai negara pemilik cadangan devisa terbesar berkat surplus ekspor yang konsisten, pertemuan ini membuka peluang besar bagi Indonesia untuk menarik investasi dan masuk ke dalam jaringan bisnis global. Kesempatan ini sangat berharga mengingat Tiongkok, yang tengah menghadapi tantangan inflasi dan suku bunga domestik tinggi, kian gencar memperluas investasinya ke luar negeri. Indonesia berada dalam posisi ideal untuk memanfaatkan peluang tersebut melalui kemitraan yang saling menguntungkan.
Untuk memaksimalkan kerja sama ekonomi ini, Indonesia harus cerdas dalam menentukan sektor-sektor investasi strategis yang tidak hanya memenuhi kebutuhan Tiongkok, tetapi juga memperkuat ekonomi nasional di panggung global. Salah satu peluang besar terletak pada sektor bahan baku. Dengan sumber daya alam melimpah, Indonesia memiliki potensi besar sebagai pemasok bahan baku industri bagi Tiongkok. Ambil contoh industri furnitur, di mana kayu dan rotan berkualitas tinggi dari Indonesia dapat diolah menjadi produk setengah jadi seperti kaki kursi dan komponen furnitur lainnya, yang kemudian dipasok ke Tiongkok—negara yang menguasai pangsa pasar furnitur di Eropa.
Tak hanya itu, sektor bahan baku logam seperti logam dasar, baut, dan besi batangan juga patut menjadi perhatian. Indonesia memiliki cadangan tambang besi dan baja serta pasir kuarsa, yang dapat diolah menjadi produk bernilai tambah. Sektor industri ini tidak memerlukan teknologi tinggi, tetapi mampu menciptakan banyak lapangan kerja dan memberdayakan UMKM, memperkuat rantai pasok ekspor, dan membuka peluang bagi produk Indonesia di pasar global. Dengan fokus ini, UMKM bisa menjadi pemain utama dalam rantai nilai global.
Investasi berbasis bahan baku membawa keuntungan besar bagi kedua negara: Tiongkok mendapatkan akses bahan baku berkualitas dengan harga kompetitif, sementara Indonesia menuai manfaat dari peningkatan ekspor dan lapangan kerja baru. Ini adalah upaya memperkuat basis ekonomi nasional sekaligus mempersiapkan UMKM untuk bersaing di pasar internasional. Pemerintah perlu mendorong UMKM untuk aktif terlibat dalam rantai produksi bahan baku yang sesuai dengan kebutuhan industri Tiongkok, sehingga mereka menjadi elemen penting dalam rantai pasok global, menciptakan nilai tambah, dan memanfaatkan pasar besar yang dimiliki Tiongkok.
Secara keseluruhan, inisiatif ini tidak hanya membuka jalan bagi keuntungan finansial, tetapi juga mempererat hubungan strategis kedua negara, menjadikan Indonesia lebih siap menghadapi persaingan ekonomi global. Kerja sama ini berpotensi menciptakan masa depan ekonomi yang lebih stabil dan berdaya saing tinggi. (tmn)