Kendari, BeraniNews.com – Kasus pencemaran nama baik kembali mencuat di Sulawesi Tenggara. Mantan Penjabat Bupati Bombana berinisial SS dilaporkan ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sultra pada Kamis, 16 Oktober 2025.
Pelapor, Anton Ferdinan, menuding SS melakukan dugaan pencemaran nama baik melalui percakapan di grup WhatsApp. Dalam percakapan tersebut, SS disebut-sebut melontarkan tuduhan bahwa Anton adalah PKI.
Langkah hukum ini menjadi sorotan publik, sebab kasus pencemaran nama baik kerap muncul akibat penggunaan media sosial yang tidak bijak. Anton berharap laporannya bisa menjadi pelajaran agar ruang digital tidak digunakan untuk menyebar tuduhan tanpa dasar.
Laporan resmi Anton diterima langsung oleh petugas piket Krimsus Polda Sultra, Bripda Muhammad Fahreza. Ia membenarkan bahwa pihaknya telah menerima laporan tersebut dan akan menindaklanjutinya sesuai prosedur hukum yang berlaku.
“Hari ini kami menerima laporan dari saudara Anton Ferdinan atas dugaan pencemaran nama baik. Dalam laporan disebutkan, SS diduga menyebut Anton Ferdinan sebagai PKI. Laporan sudah kami terima dan akan segera ditindaklanjuti. Dalam waktu satu minggu, kami akan menghubungi kembali saudara Anton,” jelas Bripda Fahreza kepada awak media, Kamis (16/10/2025).
Kepolisian menegaskan akan memproses laporan sesuai tahapan penyelidikan. Setelah verifikasi awal, penyidik akan memanggil para pihak terkait untuk dimintai keterangan. Proses hukum ini diharapkan berjalan transparan agar tidak menimbulkan spekulasi publik.
Ditemui di Mapolda Sultra, Anton Ferdinan membenarkan bahwa dirinya memang melapor langsung ke pihak kepolisian. Ia merasa tuduhan yang menyebut dirinya sebagai PKI sangat mencemarkan nama baiknya dan berdampak buruk bagi reputasi keluarganya.
“Benar, saya melaporkan saudari SS atas dugaan pencemaran nama baik. Dalam percakapan di grup WhatsApp, saya disebut sebagai PKI. Itu sangat merugikan saya dan keluarga, sehingga saya tempuh jalur hukum,” ujar Anton Ferdinan.
Menurut Anton, langkahnya bukan karena dendam pribadi, tetapi sebagai bentuk pembelajaran agar masyarakat berhati-hati dalam menggunakan media sosial. Ia menilai penyebaran tuduhan tanpa bukti adalah pelanggaran serius terhadap hak seseorang atas kehormatan dan martabat.
“Saya tidak ingin hal seperti ini terus terjadi. Media sosial seharusnya menjadi ruang komunikasi yang sehat, bukan tempat menyebar fitnah. Hukum harus ditegakkan agar setiap orang berpikir dua kali sebelum bicara atau menulis sesuatu di ruang publik,” tegasnya.
Kasus yang menjerat mantan pejabat publik ini menunjukkan bahwa literasi digital masih menjadi tantangan besar di tengah masyarakat. Perkembangan teknologi komunikasi seharusnya diimbangi dengan kesadaran hukum agar tidak disalahgunakan untuk menjatuhkan nama orang lain.
Anton berharap, kepolisian bertindak profesional dalam menangani laporannya. Ia juga membuka ruang untuk klarifikasi dari SS jika yang bersangkutan memiliki itikad baik. Namun, hingga kini, pihak SS belum memberikan tanggapan apa pun terkait laporan tersebut.
Kasus pencemaran nama baik melalui media digital seperti grup WhatsApp kini semakin sering terjadi. UU ITE dan KUHP memberikan payung hukum bagi korban untuk menuntut keadilan jika merasa dirugikan. Dalam banyak kasus, pernyataan yang bersifat tuduhan tanpa bukti kuat bisa dikategorikan sebagai fitnah yang dapat dijerat pidana.
Dengan laporan ini, publik berharap proses hukum berjalan objektif tanpa intervensi pihak mana pun. Transparansi dan profesionalisme menjadi kunci agar masyarakat percaya pada penegakan hukum di Sultra. (red)






























































