Internasional, BeraniNews.com – Gelombang kecaman terhadap Israel terus membesar, bak badai yang mengguncang panggung diplomatik global. Jika sebelumnya Israel kerap dianggap “benteng demokrasi” di Timur Tengah, kini negara itu kian terisolasi, dihujani sanksi dan boikot dari berbagai penjuru dunia. Sorotan tajam diarahkan langsung kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang dinilai menjadi motor kebijakan keras Israel di Gaza dan Tepi Barat.
Langkah Israel menggempur Gaza dinilai berlebihan dan memicu kemarahan komunitas internasional. Tekanan datang dari segala arah — mulai dari embargo senjata, pemutusan hubungan dagang, hingga boikot budaya dan olahraga. Situasi ini menjadi salah satu ujian diplomasi terbesar dalam sejarah modern Israel.
Belgia menjadi negara Eropa pertama yang menjatuhkan sanksi serius. Brussels melarang impor dari permukiman ilegal di Tepi Barat, memperketat bantuan konsuler bagi warganya yang tinggal di sana, dan meninjau kembali kerja sama dengan perusahaan Israel. Bahkan, dua menteri sayap kanan Israel — Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich — dinyatakan persona non grata, atau tidak diinginkan di wilayah Belgia.
Spanyol juga mengambil langkah tegas dengan menerapkan undang-undang embargo senjata ke Tel Aviv. Madrid melarang impor peralatan militer dan menutup pelabuhan maupun wilayah udara bagi kapal serta pesawat yang membawa persenjataan menuju Israel. Selain itu, Spanyol menolak memberikan akses masuk bagi siapa pun yang terlibat dalam dugaan genosida di Gaza.
Norwegia mengumumkan divestasi dari 23 perusahaan Israel dan berpotensi memperluas kebijakan itu. Menteri Keuangan Norwegia J. Sttenberg menegaskan bahwa dana investasi negara tak akan mendukung perusahaan yang terlibat dalam pelanggaran hukum internasional.
Sementara itu, Uni Eropa — mitra dagang terbesar Israel — mulai mempertimbangkan langkah lebih keras, termasuk menangguhkan sebagian perjanjian dagang dengan Tel Aviv. Sebanyak 314 mantan diplomat Eropa menandatangani surat terbuka kepada Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, menyerukan sanksi yang lebih tegas.
Citra Israel juga terguncang di sektor budaya. Ajang Eurovision Song Contest 2026 terancam krisis peserta karena Irlandia, Spanyol, Belanda, dan Slovenia mengancam mundur jika Israel tetap ikut serta.
Di Hollywood, lebih dari 4.000 seniman internasional — termasuk aktris Emma Stone dan aktor Jeff Bridges — menandatangani petisi untuk memboikot acara dan perusahaan yang berhubungan dengan Israel. Di Spanyol, ajang balap sepeda World Tour Academy (WTA) ricuh akibat protes terhadap tim Israel Premier Tech, sehingga lomba berakhir kacau. Tujuh pecatur Israel bahkan mengundurkan diri dari sebuah turnamen setelah diberitahu tak bisa bertanding di bawah bendera Israel.
Menghadapi badai kecaman itu, Netanyahu tetap menunjukkan sikap menantang. Dalam forum ekonomi pada 15 September 2025, ia mengakui isolasi internasional semakin nyata, namun justru menyalahkan media global karena dianggap memberi citra buruk terhadap Israel.
Alih-alih melunakkan kebijakan, Netanyahu mendorong Israel memperkuat industri senjata domestik agar mampu bertahan dari embargo. Ia menggambarkan masa depan Israel sebagai “gabungan Athena dan Sparta” — sebuah negara yang unggul dalam teknologi sekaligus kuat secara militer.
Kepercayaan diri Netanyahu tampaknya didukung oleh sikap Amerika Serikat yang enggan menjatuhkan sanksi senjata terhadap Israel. Washington masih menjadi sekutu utama, dan sebagian besar pasokan senjata Tel Aviv berasal dari sana.
Namun, dukungan AS tidak menghentikan kritik keras, bahkan dari tokoh-tokoh senior Israel. Mantan Perdana Menteri Ehud Barak dan Ehud Olmert menilai kebijakan Netanyahu justru membuat Israel kian terasing. Mantan Kepala Staf IDF Gadi Eisenkot dan oposisi Israel Yair Lapid menyebut pemerintah gagal menjaga hubungan dengan Eropa.
Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez menegaskan bahwa kebijakan militer Israel melanggar hukum internasional. Pernyataan senada datang dari Menteri Luar Negeri Belgia Hadja Lahbib yang menolak adanya “pengecualian hukum” bagi sekutu dekat Eropa.
Presiden Iran Masoud Pejskian juga menuding Israel merusak stabilitas Timur Tengah saat berpidato di hadapan pemimpin negara-negara OKI di Doha, Qatar.
Gelombang penolakan terhadap Israel kini bukan hanya milik negara-negara Arab atau Eropa, tetapi juga tokoh dunia, seniman, dan masyarakat sipil di banyak negara. Pilihan Netanyahu untuk tetap menantang dunia membuat masa depan Israel semakin sulit diprediksi. Apakah strategi ini akan menyelamatkan posisi Israel atau justru mempercepat keterasingannya di panggung internasional? (red)