Bombana, beraninews.com – Suasana berbeda tampak di Kantor Dinas Pertanian Kabupaten Bombana, Kamis (12/6/2025). Sekitar 40 orang peternak dari Dusun Polodu, Desa Rau-Rau, Kecamatan Rarowatu, serta dari Desa Wumbubangka, Kecamatan Rarowatu Utara, mendatangi kantor tersebut dengan satu tujuan: menyuarakan keresahan mendalam terkait lahan penggembalaan ternak yang mulai tergerus.
Mereka datang dengan harapan besar agar suara mereka didengar dan dicarikan solusi atas persoalan serius yang mereka hadapi. Para peternak ini mengeluhkan adanya aktivitas percetakan sawah dan perkebunan kelapa sawit di lahan yang selama ini menjadi tempat penggembalaan ternak mereka. Aktivitas tersebut, yang menurut mereka dilakukan oleh sejumlah oknum yang mengatasnamakan institusi kerajaan, telah menyebabkan rusaknya area padang rumput dan tercemarnya sumber air minum ternak.
Dalam forum dialog yang digelar secara terbuka, hadir sejumlah pejabat penting daerah, di antaranya Penjabat Sekretaris Daerah Bombana, dr. Sunandar; tiga anggota DPRD Kabupaten Bombana, yakni Yudi Utama Arsyad, Jumadil, dan Abdul Rahman; serta perwakilan dari Dinas Pertanian, yaitu Kabid Peternakan Surianto Wedda, Kabid Perkebunan Rahmatia, dan Kabid Prasarana dan Sarana Pertanian, Arwin. Kepala Dinas Pertanian sendiri tidak bisa hadir karena sedang menjalankan tugas luar daerah.
Anggota DPRD Bombana dari Fraksi Partai Bulan Bintang (PBB), Yudi Utama Arsyad, menyatakan keprihatinannya atas kondisi yang dihadapi para peternak. Ia menegaskan bahwa mereka merupakan pilar ekonomi keluarga dan seharusnya mendapat perlindungan dari pemerintah.
“Mereka harus dilindungi sebab mereka adalah pejuang ekonomi keluarga mereka yang ada di rumah. Sebagai wakil rakyat, saya akan terus mengawal dan mendampingi rakyat,” ujar Yudi kepada wartawan.
Yudi juga menyoroti kejanggalan aktivitas sejumlah pihak yang memanfaatkan kawasan hutan produksi untuk membuka sawah, bahkan mengklaim mewakili lembaga-lembaga tertentu termasuk aparat penegak hukum dan kerajaan.
“Di hutan-hutan produksi dan hutan lainnya yang statusnya memang di dalam aturan tidak dapat diubah bentuknya, mengapa kita tidak berikan keleluasaan kepada rakyat kita, rakyat Bombana? Toh juga mereka hanya menggembalakan ternak agar sapi-sapi mereka dapat hidup dan bernilai tinggi,” imbuhnya.
Ia menyayangkan jika praktik tersebut terus dibiarkan, maka bukan hanya penggembala yang kehilangan tempat, tapi juga masyarakat secara luas yang akan merasakan dampaknya, terutama dari sisi ekonomi dan ketersediaan daging sapi.
“Begitu juga dengan adanya oknum yang mengatasnamakan lembaga-lembaga pemerintahan, APH, dan kerajaan untuk membuat sawah di hutan produksi kita, itu harus diberi pemahaman. Sebab, penggembala ternak tidak lagi memiliki sumber air dan wilayah gembalanya hilang. Ketika itu dibiarkan – membuat sawah dan mengubah bentuk hutan kita tanpa izin – maka saya yakin daging sapi harganya akan melonjak tinggi. Kita pula hanya akan mendengar cerita dongeng bahwa dulunya kita punya padang dan hutan yang masyarakatnya bahagia, menggembala sapi dan kerbaunya. Tapi saat ini tidak ada lagi, karena digusur oleh oknum yang tidak bertanggung jawab,” tegas Yudi.
Sementara itu, Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian Kabupaten Bombana, Surianto Wedda, menjelaskan bahwa pihaknya sebenarnya telah mengusulkan lokasi tersebut untuk dijadikan sebagai lahan penggembalaan resmi dalam program 100 hari kerja Bupati. Namun, setelah dilakukan pengecekan mendalam terhadap tata ruang wilayah, lokasi yang dimaksud ternyata berada dalam kawasan hutan produksi, sehingga ada keterbatasan dalam pengelolaannya.
“Lokasi yang mereka maksud sebenarnya sudah kami usulkan untuk ditetapkan sebagai lahan penggembalaan pada program 100 hari bupati. Namun setelah di-crosscheck dengan tata ruang, ternyata lokasi tersebut masuk dalam kawasan hutan produksi,” jelas Surianto.
Sebagai tindak lanjut dari pertemuan tersebut, seluruh pihak yang hadir sepakat untuk melanjutkan dialog melalui pertemuan lanjutan. Pertemuan ini akan melibatkan pihak Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) guna memberikan penjelasan secara rinci mengenai status lahan yang dipermasalahkan, serta potensi peruntukannya di masa mendatang.
Dialog ini menjadi titik awal perjuangan peternak lokal dalam mempertahankan hak atas ruang hidup dan penghidupan mereka. Ke depan, harapan besar terletak pada kemampuan pemerintah daerah dan lembaga terkait untuk menyeimbangkan regulasi kehutanan dengan kebutuhan masyarakat adat dan lokal yang telah puluhan tahun menggantungkan hidup pada aktivitas peternakan tradisional. (Adv)