Jakarta, BeraniNews.com – APBN 2026 akhirnya resmi disahkan oleh DPR RI pada Selasa (23/9/2025). Salah satu yang paling menyedot perhatian publik adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang mengambil porsi Rp 335 triliun dari total anggaran, sebagian besar berasal dari pos pendidikan.
Langkah ini menunjukkan ambisi besar pemerintah untuk meningkatkan gizi anak-anak Indonesia. Namun, publik menyoroti distribusi anggaran yang membuat alokasi untuk beasiswa, tenaga pengajar non-PNS, dan dosen terpangkas cukup jauh.
MBG Jadi Prioritas Utama
Dalam APBN 2026, total belanja untuk pendidikan ditetapkan Rp 757,8 triliun, naik dari tahun sebelumnya yang berada di kisaran Rp 690 triliun. Namun, dari angka itu, Rp 223 triliun dialihkan untuk MBG.
Perbandingan dengan program lain menunjukkan kontras yang tajam. Beasiswa pendidikan hanya kebagian Rp 57,7 triliun. Sementara itu, alokasi untuk guru non-PNS, ASN daerah, dan dosen non-PNS berjumlah Rp 91,4 triliun, jauh lebih kecil dibandingkan dana MBG.
Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai pengelola MBG mendapatkan anggaran dari tiga sektor, yakni pendidikan Rp 223 triliun (83,4 persen), kesehatan Rp 24,7 triliun (9,2 persen), dan ekonomi Rp 19,7 triliun (7,4 persen).
Rincian Belanja MBG
Mayoritas anggaran MBG diarahkan ke belanja barang untuk pengadaan makanan bergizi, mencapai Rp 261 triliun atau 97,7 persen. Sisanya digunakan untuk belanja pegawai Rp 3,8 triliun dan belanja modal Rp 3 triliun.
“Dari total anggaran tersebut, sekitar Rp 34 triliun akan dialokasikan untuk bantuan pangan bergizi bagi anak sekolah, Rp 3,1 triliun untuk ibu hamil, ibu menyusui, dan balita, serta Rp 3,9 triliun untuk belanja pegawai. Selain itu, Rp 3,1 triliun untuk digitalisasi, Rp 700 miliar untuk pemantauan dan pengawasan, serta Rp 3,8 triliun untuk penyediaan dan penyaluran, termasuk pelatihan tenaga gizi,” jelas Kepala BGN, Dadan Hindayana, dikutip dari indonesia.go.id
Sorotan Menkeu: Anggaran Harus Terserap
Menteri Keuangan Purbaya mengingatkan agar kementerian dan lembaga besar mampu menyerap anggaran secara optimal.
“Tadi saya ajak ke Pak Presiden, bulan depan saya akan mulai beredar di kementerian-kementerian yang besar, yang penyerapan anggarannya belum optimal,” ujarnya di Istana Kepresidenan, Selasa (16/9/2025) dikutip dari detik.com.
Ia menegaskan, jika sampai Oktober masih ada dana yang menganggur, maka anggaran tersebut akan dialihkan ke program lain yang bisa langsung dirasakan masyarakat.
“Kita sebarkan ke program-program yang langsung siap ke rakyat. Saya nggak mau uang nganggur,” imbuhnya.
Merespons hal itu, Kepala BGN menyatakan tidak khawatir. Menurutnya, realisasi penyerapan MBG akan tercapai sesuai jadwal.
“Saya nggak khawatir terkait dengan itu karena penyerapan kita, insya Allah, akan selesai, apalagi Rp 71 triliun tahun ini pasti terserap,” ujar Dadan dalam detik.com
Ia mengakui masih ada Rp 9,1 triliun yang belum digunakan karena proses administrasi. Namun, BGN juga memprediksi kebutuhan tambahan dana sebesar Rp 50 triliun.
“Meskipun ada Rp 9,1 triliun masih dibintangi, belum bisa kita pakai, dan itu masih dalam proses membuka bintang. Namun kita memprediksi akan butuh tambahan Rp 50 triliun. Pak Presiden sudah membuat standby Rp 100 triliun, jadi kami tidak risau yang begitu-begitu karena kami tahu apa yang harus kami lakukan,” paparnya.
Program MBG berpotensi besar meningkatkan kualitas SDM sejak dini. Anak-anak sekolah yang menerima makanan bergizi akan lebih sehat, lebih fokus belajar, dan produktif di masa depan. Dalam jangka panjang, hal ini menekan biaya kesehatan nasional dan meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia.
Alokasi Rp 261 triliun untuk belanja makanan juga memicu perputaran ekonomi. Petani, peternak, hingga UMKM pangan lokal akan mendapatkan pasar baru yang stabil. Efek berganda (multiplier effect) ini bisa menggerakkan sektor pertanian, industri pengolahan, dan logistik di berbagai daerah.
Namun, ada tantangan besar. Lonjakan permintaan pangan bisa memicu inflasi harga bahan pokok jika pasokan tidak memadai. Selain itu, pemotongan anggaran beasiswa dan tenaga pengajar dikhawatirkan menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan pendidikan.
Efektivitas penyerapan juga menjadi kunci. Anggaran raksasa yang lambat terealisasi justru akan menahan laju pertumbuhan ekonomi karena dana tidak segera beredar di masyarakat.
Pengesahan APBN 2026 menandai langkah besar pemerintah dalam memperkuat gizi masyarakat melalui MBG dengan porsi anggaran Rp 335 triliun. Meski menuai kritik karena menyedot dana dari sektor pendidikan, program ini tetap dianggap sebagai investasi jangka panjang untuk generasi emas 2045.
Tantangan terbesar kini terletak pada efektivitas penyerapan dan pengawasan. Publik berharap, setiap rupiah yang dialokasikan benar-benar memberi manfaat nyata bagi anak sekolah, ibu hamil, hingga kelompok masyarakat rentan. (red)